"If you want to get something that you never own, you must do something that you never done before"
"jika kamu ingin mendapatkan sesuatu yang tak pernah kamu miliki.kamu harus melakukan sesuatu yang tak pernah kamu lakukan"

Tuesday 3 December 2013

JU'ALAH



A.    PENGERTIAN JU’ALAH
Ju’alah  (الجعا لة)artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam الالتزام (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah sebagai “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”.   Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”.   Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.
B.     DASAR HUKUM JU’ALAH
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72:

artinya “penyeru-penyeru berkata ‘kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”
Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri:





“Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat meruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/323 :
 “Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.”
2. Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, XV/449 :

 “Boleh melakukan akad Ju’alah, yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.”
3. Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II/24 :

 Ju’alah boleh dilakukan oleh dua pihak, pihak ja’il (pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj’ul lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama)…, (Ju’alah) adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu.”

Mazhab Hanafi tidak membenarkan Ju'alah karena dalam Ju'alah terdapat unsur gharar.


C.    RUKUN DAN SYARAT JU’ALAH
Rukun Ju’alah yaitu:
1.      Sighat
2.      Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
3.      Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.
4.      Maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5.      Upah/hadiah/fee

Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
(1) Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
(2) Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
(3) Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.
(4) Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
(5) Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
(6) Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
D.    SIFAT AKAD JU’ALAH
Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memandang bahwa akad Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa-apa yang dijanjikan boleh saja di batalkan oleh kedua belah pihak. Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat. Mazhab Maliki berpendapat bahwa Ju'alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.
Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i dan Hanbali, pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaksanakan. Namun jika pihak pertama membatalkannya sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan kadar pekerjaan yang telah dilaksanakannya.
E.     PERBEDAAN JU’ALAH DENGAN IJARAH
Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Madzhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan Ijaarah (transaksi upah) dari lima segi :
(1)  Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada Ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
(2)  Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada Ijaarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.

(3) Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam Ijarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.
(4) Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan disurat kabar. Sedangkan dalam akad Ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
(5) Dari segi ruang lingkupnya Madzhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek dalam transaksi Ijarah.
Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi Ijarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah. Dengan demikian, ruang lingkup Ijarah lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad Ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah. Dalam Ijarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna. 

F. APLIKASI JU’ALAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
            Belum ada aplikasi Ju’alah yang khusus dalam lembaga keuangan syariah, namun aplikasi ini bisa dilihat dalam praktek penerbitan SBIS (sertifikat Bank Indonesia Syariah).

DAFTAR PUSTAKA
Al Fauzan, Saleh.2006.Fiqih Sehari-Hari.Gema Insani:Jakarta.
Hasan, M. Ali.2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat).PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Sudarsono, Heri.2007.Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi.Ekonisia: Yogyakarta
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 62/DSN-MUI/XII/2007

No comments:

Post a Comment